BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kehidupan yang sangat modern telah banyak membuat
perubahan. Tradisi zaman dahulu peninggalan-peninggalan masyarakat adat semakin
dilupakan. Setiap yang dilakukan masyarakat pada waktu dulu meningalkan tradisi
dan kebudayaan sebagai harta yang berharga.Tetapi pada kenyataannya kurangnya
perhatian dan kesadaran akan tradisi dan kebudayaan yang ditinggalkan.
Suku Banjar adalah masyarakat yang tinggal di
Kalimantan Selatan. Akan tetapi pengaruh ajaran agama Hindu masih terasa bahkan sampai sekarang.
Masyarakat yang sekarang lebih menyukai keadaan yang sifatnya menghibur,
padahal apa yang masyarakat dulu tinggalkan untuk generasi mendatang memiliki
makna. Disinilah kita dituntut menjaga harta yang telah ditiggalkan oleh
masyarakat terdahulu.
Dari segi bangunan-bangunan manjadikan ini sebagai
seni arsitektur kebudayaan banjar yaitu berupa Rumah Bubungan Tinggi. Seiring
dengan perkembangannya ruamh ini juga dipengaruhi oleh unsur ajaran agama hindu
dan selanjutnya ajaran agama islam hingga sekarang. Bangunan yang sering kita dengar
sebagai rumah bagi suku banjar terdahulu. Bangunan ini sudah sangat sulit untuk kita
menemukannya.
Perubahan yang kearah modern ini telah
menenggelamkan bangunan bersejarah sebagai asset kebudayaan Banjar. Ini menjadi
pikiran kita bersama bagaimana jika sampai tahun yang akan datang tidak ada
lagi bangunan-bangunan bersejarah rumah adat banjar.
1.2
Identifikasi
Masalah
a. Mengetahui
Sejarah kebudayaan suku Banjar yang ada di Kalimantan Selatan sebagai seni
arsitektur peninggalan bangunan
bersejarah yang berupa rumah Bubungan Tinggi.
b. Mengetahui hubungan akulturasi dan budaya banjar dari
segi arsitektur seni dan bangunan melalui arsitektur rumah Bubungan Tinggi.
1.3
Maksud
dan Tujuan
Maksud
dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui sejarah, fungsi dan pengaruh
peninggalan masyarakat yang berupa rumah Bubungan Tinggi. Sedang tujuan
dibuatnya makalah ini adalah memenuhi salah satu tugas Maka Kuliah Islam dan
Budaya Lokal.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Rumah Banjar
Masyarakat Banjar di Kalimatan
Selatan memiliki beberapa rumah adat yang khas dan unik, salah satunya adalah
Rumah Bubungan Tinggi. Dulu, rumah adat ini merupakan tempat tinggal Sultan
Banjar sehingga menduduki tingkat tertinggi dari seluruh tipe rumah adat Banjar
lainnya. Disebut Rumah Bubungan Tinggi karena bubungan atapnya berbentuk lancip
dengan sudut 45o menjulang tinggi ke atas. Rumah Bubungan Tinggi ini diperkirakan sudah ada sejak abad
ke-16, yaitu ketika daerah Banjar dipimpin oleh Sultan Suriansyah atau yang
bergelar Panembahan
Batu Habang (1596–1620 Masehi).
Rumah
banjar bubungan tinggi adalah bangunan yang tertua dari seluruh tipe rumah
tradisional. Pada masa kerajaan banjar, Bubungan tinggi dikenal sebagai istana
sultan Banjar. Oleh karena itu, rumah ini dinilai sebagai bangunan yang paling utama dari rumah-rumah adat lainnya. Rumah ini menjadi salah satu rumah tradisional suku Banjar (rumah Banjar) di Kalimantan Selatan dan bisa dibilang merupakan ikonnya
Rumah Banjar karena jenis rumah inilah yang paling terkenal karena menjadi
maskot rumah adat khas provinsi Kalimantan
Selatan.
Di dalam kompleks keraton Banjar dahulu kala bangunan rumah Bubungan
Tinggi merupakan istana kediaman raja (bahasa Jawa: kedhaton).
2.2 Konstruksi Bangunan Rumah Bubungan Tinggi
Konstruksi rumah adat Bubungan Tinggi
ini dibuat
dengan bahan kayu. Faktor alam Kalimantan yang penuh dengan hutan telah memberikan bahan konstruksi yang melimpah kepada
mereka, yaitu kayu. Sesuai dengan bentuk serta
konstruksi bangunan rumah adat Banjar tersebut maka hanya kayulah yang
merupakan bahan yang tepat dan sesuai dengan konstruksi bangunannya.
Pada mulanya, konstruksi Rumah
Bubungan Tinggi berbentuk segi empat yang memanjang ke depan. Namun dalam
perkembangannya, bangunan tersebut mendapat tambahan pada bagian belakang
maupun pada sisi kanan dan kirinya. Untuk bagian belakang diberi tambahan sebuah
ruangan yang berukuran sama panjang atau biasa disebut dengan disumbi.
Sedangkan pada bagian sisi kanan dan kiri diberi tambahan bangunan yang
menempel (pisang sasikat) pada bangunan induk yang menjorok ke samping
dan dikenal dengan istilah anjungan. Itulah sebabnya rumah adat Banjar
ini disebut juga Rumah Ba-anjung. Ciri-cirinya:
a. Tubuh bangunan besar yang memanjang lurus
kedepan sebagai bangunan induk serta memiliki tiang-tiang yang tinggi.
b. Bagian
bangunan yang tampak seperti menempel pada bagian kiri dan kanan agak
kebelakang yang disebut anjung. Dalam istilah Banjar konstruksi ini disebut
Pisang sasikat. (pisang sasisir).
c. Bubungan
atap yang tinggi melancip tersebut disebut bubungan tinggi dengan konstruksi
atap pelana (Zadeldak) yang membentuk sudut sekitar 45 derajat.
d. Bangunan
atap yang memanjang kedepan disebut atap sindang langit.
e. Bubungan
atap bagian yang menurunkan kebelakang
disebut atap hambin awan
Pada perkembangan selanjutnya, Rumah
Bubungan Tinggi tidak lagi menjadi ciri khas sebagai rumah tinggal Sultan
Banjar seiring dengan munculnya bangunan-bangunan yang meniru bentuk rumah adat
ini, baik di sekitar keraton maupun di daerah-daerah lain. Bangunan rumah
tersebut pada awalnya hanya milik para bangsawan dan para saudagar kaya,
kemudian diikuti oleh masyarakat Banjar pada umumnya. Kini, Rumah Bubungan
Tinggi telah menjadi ciri khas bangunan rumah seluruh penduduk Kalimantan
Selatan, khususnya masyarakat Banjar.
Secara umum, hampir seluruh bagian
dari bangunan rumah adat Banjar terbuat dari kayu. Khusus bagian fondasi
digunakan kayu naga atau kayu galam (yang tahan di tanah lumpur selama puluhan
bahkan ratusan tahun) karena daerah Banjar berada di atas rawa-rawa berlumpur.
Sementara itu, bagian kerangka, lantai, dan dinding, umumnya menggunakan kayu
ulin, kayu damar putih, dan kayu lanan. Demikian juga atapnya yang terbuat dari
sirap juga menggunakan bahan kayu ulin atau atap rumbia.
2.3 Hubungan
Akulturasi dengan Budaya Banjar Melalui Rumah Bubungan Tinggi
Rumah bagi
masyarakat Banjar bukan sekadar tempat berlindung, tetapi juga merupakan
ekspresi kebudayaan (kearifan lokal), keyakinan, serta bentuk harapan. Semua bentuk
ekspresi tersebut diwujudkan mulai dari tata cara mendirikan rumah, bentuk
rumah,
hingga
ornamen-ornamennya. Ekspresi kebudayaan terlihat pada tata cara menentukan ukuran
panjang dan lebar rumah yang harus menggunakan ukuran depa suami (depa: satuan ukuran yang diukur
sepanjang kedua belah tangan mendepang dari ujung jari tengah kiri sampai ke
ujung jari tengah kanan, atau sekitar enam kaki (±1,8 meter) dalam jumlah
ganjil dengan harapan rumah dan penghuninya kelak akan mendapatkan kedamaian
dan keharmonisan. Selain itu, baik dan buruknya ukuran sebuah rumah juga
ditentukan oleh delapan lambang binatang, yaitu naga, asap, singa,
anjing, sapi, keledai, gajah, dan gagak. Panjang ideal sebuah rumah
dilambangkan oleh naga, sedangkan lebar ideal dilambangkan oleh gajah.
Masyarakat Banjar adalah masyarakat yang
terjadi dari pencampuran suku Dayak, Jawa, Melayu, dan Bugis yang mendiami
wilayah Kalimantan Selatan. Mayoritasnya kebanyakan masyarakat Banjar memeluk agama Islam. Tentang pengaruh yang ditimbulkan agama Islam
pada interior rumah Bubungan Tinggi, di desa Telok Selong kecamatan Martapura
Kalimantan Selatan. Interior yang diteliti meliputi organisasi ruang, elemen
pembentuk ruang, dan elemen dekoratif. Karena obyek penelitian sudah ditentukan
maka digunakan bentuk penelitian terpancang dengan studi kasus tunggal. Agama Islam sebagai sistem religi yang
merupakan salah satu unsur kebudayaan, tercermin pada interior rumah Bubungan
Tinggi yang merupakan salah satu bentuk dari wujud kebudayaan. Sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa memang terdapat pengaruh Islam pada rumah Bubungan
Tinggi.
Dari segi fisik, bentuk bangunan Rumah
Bubungan Tinggi diibaratkan tubuh manusia yang terdiri dari 3 bagian. Secara
vertikal, rumah adat yang berbentuk rumah panggung ini terdiri dari kolong
rumah (bawah) yang melambangkan kaki, badan rumah (tengah) yang melambangkan
badan, dan atap rumah (atas) yang melambangkan melambangkan kepala. Secara
horizantal, anjungan yang berada di sisi kanan dan kiri melambangkan tangan
kanan dan kiri.
Dari segi
filosofi, bentuk rumah
melambangkan
perpaduan antara dunia atas dan bawah, sedangkan penghuninya berada di antara
kedua dunia tersebut. Filosofi ini lahir dari kepercayaan Kaharingan pada suku
Dayak bahwa alam semesta terdiri dari dua bagian yaitu alam atas dan bawah.
Wujud filosofi ini terlihat pada ornamen-ornamen rumah adat Banjar seperti
ukiran burung enggang sebagai lambang dunia atas, dan ukiran naga sebagai
lambang dunia bawah.
Selain itu, ornamen-ornamen yang ada
pada bangunan Rumah Bubungan Tinggi juga dipengaruhi oleh unsur budaya suku
Dayak dan Islam. Ornamen yang dipengaruhi oleh unsur budaya suku Dayak umumnya
menggunakan motif flora dan fauna, seperti buah manggis, belimbing, mengkudu, dan nanas. Sedangkan motif tanaman
yang digunakan memiliki manfaat, baik untuk bahan makanan maupun obat-obatan
seperti tanaman kangkung, jamur, cengkeh, tunas bambu (rebung), sirih,
sebagainya. Ada juga yang menggunakan motif dari tanaman yang biasa digunakan
dalam upacara-upacara adat seperti bunga cempaka, kenanga, pakis, mawar, dan
sebagainya. Sementara itu, unsur budaya Islam terlihat pada ukiran-ukiran
kaligrafi Arab seperti kalimat syahadat, nama-nama khalifah, shalawat, maupun
ayat-ayat tertentu dalam Al Qur’an.
.
BAB III
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Masuknya agama Islam di Kalimantan Selatan,
khususnya pada masyarakat Banjar membawa pengaruh pada perwujudan interior
rumah Bubungan Tinggi di Desa Telok Selong, Kalimantan Selatan. Nilai-nilai
Islam mempengaruhi perubahan cara pandang masyarakat Banjarterhadap penerapan
elemen-elemen interior rumah Bubungan Tinggi seperti penambahan fungsi ruang
untuk beribadah tanpa elemen dekoratif. Bentuk-bentuk elemen dekoratif yang
tidak memvisualisasikan makhluk hidup adalah pengaruh nilai Islam yang sangat
jelas di rumah Bubungan Tinggi ini. Selain adanya motif kaligrafi sebagai upaya
masyarakat Banjar untuk mengurai dan mengingat ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam
kehidupannya dan menghormati keberadan Allah maupun Rasullulah.
Pengaruh yang paling dominan terlihat pada elemen dekoratifnya, baik dari
jenis, tatanan maupun peletakkannya. Hal ini berarti rumah sebagai wadah
aktifitas penghuninya baik aktifitas jasmani maupun rohani merupakan bentuk
fisik kebudayaan, yang tentu saja mewujudkan bentuk-bentuk khusus dari pola
pikir penghuninya. Religi sebagai tuntunan dan acuan hidup tentu saja juga
mempengaruhi pola pikir umatnya. Di sini terjadi suatu sistem yang saling
melengkapi, baik rumah yang memiliki peran terhadap pemenuhan tuntutan suatu
religi maupun religi yang memiliki peran terhadap proses pembentukan suatu
bangunan tradisional atau rumah adat.
DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah Provinsi Kalimantan
Selatan. 2005. Urang Banjar dan
Kedubayaannya. Badan penelitian dan pengembangan
daerah provinsi
Kalimantan Selatan.
Departemen Pendidikian dan Kebudayaan. 1981. Rumah Tradisional Rumah Bubungan Tinggi. Proyek Pengembangan Permuseuman Kalimantan
Selatan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Bubungan_Tinggi
http://www.indonesiawonder.com/id/tour/wisata-budaya/rumah-adat-bubungan-tinggi
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Bubungan_Tinggi
http://puslit.petra.ac.id/files/published/journals/INT/INT040202/INT04020203.pdf